digtara.com | MEDAN – Terkait kasus Sihaporas dan Dolok Parmonangan di Simalungun Serta Huta Tor Nauli di Tapanuli Utara adalah ancaman kriminalisasi yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari terhadap Masyarakat Adat Sihaporas, Dolok Parmonangan, dan Tor Nauli belum menemui titik terang.
Menurut Sekretaris Eksekutif Bakumsu, Manambus Pasaribu mengatakan pihak kepolisian pun melakukan bentuk kriminalisasi dengan melakukan penangkapan yang unprosedural. Hal ini mneyudutkan banyak pihak dari Masyarakat Adat yang melakukan perjuangan atas pengakuan hak mereka atas tanah adat mereka.
“Saat ini dimana dua orang masyarakat adat Sihaporas Keturunan Ompu Mamontang Laut yaitu Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita sedang menjalani proses hukum karena berjuang untuk mempertahankan tanah adat mereka dari kehancuran masif dari aktivitas PT Toba Pulp Lestari (TPL) diatas wilayah adat mereka,” katanya dalam konferensi pers di D’Caldera Coffe Jalan SM Raja Kamis (6/2/2020).
Dia menegaskan kedua masyarakat tersebut selama ini menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun dan hasil putusan kemarin pada tanggal 5 Februari 2020 yakni tuntutan selama1,6 tahun untuk keduanya.
“Mereka ditahan pada tanggal 24 September 2019 tanpa prosedur yang benar. Karena kehadiran kedua masyarakat tersebut hadir di kepolisian adalah sebagai saksi bukan tersangka. Pemanggilan tersebut dilakukan pasca bentrok antara masyarakat dengan PT TPL pada tanggal 16 September 2019,” tegasnya.
Doa menambahkan bentrokan tersebut dipicu oleh arogansi dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak PT TPL terhadap masyarakat adat Sihaporas yang sedang bergotong royong di tanah adat mereka, yang akhirnya menyebabkan dua orang masyarakat adat Sihaporas yaitu Thomson Ambarita dan seorang anak berusia 3 tahun yakni Mario Ambarita menjadi korban.
“Sementara itu proses hukum terhadap Bahara Sibuea (Humas PT TPL Sektor Aek Nauli) sampai saat ini belum ditindak lanjuti bahkan terkesan diabaikan oleh pihak kepolisian,” ungkapnya.
Hal senada dikatakan Aman Tano Batak, Roganda Simanjuntak mengungkapkan Selain itu, Masyarakat Adat Dolok Parmonangan Simalungun juga menghadapi ancaman dalam bentuk kriminalisasi oleh pihak TPL. Dimana saat ini ada dua masyarakat adat Dolok Parmonangan dituduh melakukan pendudukan atas lahan konsesi PT TPL.
“Kedua orang tersebut yakni Sudung Siallagan dan Sorbatua Siallagan. Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat adat adalah sebuah hal yang wajar yakni bercocok tanam diatas lahan nenek moyangnya,” tegasnya.
Dia menegaskan akan tetapi pihak PT TPL tidak dapat menerima dan memanggil kedua masyarakat untuk ditahan. Pada tanggal 22 Januari 2020, salah satu masyarakat adat Dolok Parmonangan yakni Hasudungan Siallagan dipanggil oleh pihak kepolisian untuk memberikan keterangan sebagai saksi terkait tuduhan menduduki lahan yang diklaim oleh PT TPL lahan konsesi mereka.
“Begitu juga dengan Masyarakat Adat Huta Tor Nauli Kec Parmonangan Tapanuli Utara. Salah satu masyarakat dituduh melakukan pengrusakan oleh PT TPL disekitar wilayah yang diklaim mereka adalah konsesi mereka. Pemanggilan ditujukan kepada Nagori Manalu yang mana akan dimintai keterangan,” paparnya.
Oleh karena itu, melalui konferensi pers ini kami ingin menyatakan bahwa:Sampai hari ini Negara belum benar-benar hadir dalam pengakuan Hak Masyarakat Adat yang bebas dan tanpa paksaan untuk memilih hidup mereka.
“Bupati Simalungun diharapkan bisa memberikan pengakuan atas kehadiran tanah adat yang ada di Kabupaten Simalungun. PT Toba Pulp Lestari sudah banyak mengkriminalisasi dan merampas hak masyarakat adat,” tambahnya.
Pembicara dalam kegiatana ini, Mangitua Ambarita dari Lamtoras, Sorbatua dan Hasudungan Siallagan dari masyarakat adat parmongan, Pantur Manalu masyarakat Adat Tor Nauli, Ganda Simanjuntak dari PW Aman Tano Batak, Sahat hutagalung Kondiv Bantuan Hukum Bakumsu, Manambus Pasaribu Sekretaris Eksekutif Bakumsu.