digtara.com -Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARUKKI) bersama Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) resmi mengajukan gugatan terhadap keputusan pembebasan bersyarat mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.
Gugatan tersebut dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dan telah terdaftar dengan nomor perkara 357/G/2025/PTUN.JKT. Sidang perdana perkara ini digelar hari ini, Rabu (29/10/2025).
Kuasa hukum ARUKKI dan LP3HI, Boyamin Saiman, menjelaskan bahwa gugatan ini merupakan bentuk kekecewaan publik terhadap keputusan pembebasan bersyarat yang dinilai tidak tepat.
"Masyarakat yang diwakili oleh ARUKKI dan LP3HI kecewa atas bebas bersyaratnya Setnov, sehingga mengajukan gugatan pembatalan keputusan tersebut," ujar Boyamin saat dikonfirmasi.
Baca Juga: KPK Serahkan Kepemimpinan ASEAN-PAC ke MACC, Dorong Sinergi Regional Antikorupsi Masih Terjerat Perkara Lain
Lebih lanjut, Boyamin menegaskan bahwa pembebasan bersyarat tidak semestinya diberikan kepada terpidana yang masih tersangkut kasus hukum lain.
"Setnov masih tersangkut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Bareskrim. Karena itu, pembebasan bersyaratnya tidak bisa dilakukan," tegasnya.
Menurut Boyamin, jika gugatan yang diajukan pihaknya dikabulkan oleh PTUN Jakarta, maka Setya Novanto harus kembali menjalani sisa hukuman di dalam penjara.
Respons Pemerintah
Diketahui sebelumnya, mantan Ketua DPR RI dan terpidana kasus mega korupsi e-KTP itu telah resmi mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lapas Sukamiskin.
Baca Juga: Ketua KPK Digugat Anggota DPRD Tersangka Korupsi: Praperadilan Kasus Dana Hibah Jatim Memanas Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan, Agus Andrianto, mengonfirmasi keputusan tersebut dan menegaskan bahwa prosesnya telah melalui tahapan asesmen sesuai ketentuan hukum.
"Keputusan ini sudah melalui proses asesmen dan sesuai hasil pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK). Berdasarkan perhitungan, seharusnya waktu pembebasan bersyaratnya jatuh pada tanggal 25 yang lalu," jelas Agus di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Minggu (17/8/2025).
Meski demikian, keputusan ini menuai kritik dari sejumlah kalangan masyarakat sipil yang menilai pemerintah kurang transparan dalam memberikan hak pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus besar, khususnya korupsi kelas kakap.