Dokter dan Pendeta di Kupang Membedah Bunuh Diri Antara Trauma, Mental Breakdown dan Jejak Forensik

Imanuel Lodja - Selasa, 01 April 2025 10:12 WIB
ist
Dokter dan Pendeta di Kupang Membedah Bunuh Diri Antara Trauma, Mental Breakdown dan Jejak Forensik

digtara.com - Sabtu (29/3/2025), aula Rumah Doa Abraham di Lanudal Penfui, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) dipenuhi ratusan orang dari berbagai kalangan.

Tua dan muda, laki-laki dan perempuan berkumpul mengikuti seminar kesehatan mental yang membedah topik yang sangat menarik dan sedang menjadi isu hangat saat ini.

Dua dokter dan satu pendeta mengajak peserta berdiskusi dalam topik mengungkap misteri bunuh diri : antara trauma, mental breakdown dan jejak forensik.

Pematerinya adalah orang berkompeten dalam bidangnya masing-masing. Seminar sejak Sabtu pagi ini diawali dengan materi dari dr Raymond Josafat Major Natanael, Sp.KJ.

Peserta juga mendengarkan pemaparan materi menarik dari Dr Edwin Tambunan, Sp.FM dan seminar ditutup dengan materi yang tak kalah menarik dari Pdt John Manongga, MTh.

Konsep seminar yang digelar Gereja Bethel Indonesia, Radio Lisbeth, Yayasan Kidron Valley (Yakovel) Kupang dan Generasi Akhir Abraham (GAA) ini dirancang sangat menarik sehingga tidak membosankan peserta yang hadir.

dr Raymond Josafat Major Natanael, Sp.KJ memulai seminar dengan memaparkan soal kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa. "Kesehatan fisik dan jiwa sama dan berkaitan," ujar psikiater di RSJ, Klinik Dewanta dan RS Siloam Kupang ini.

Ia juga menyoroti peran besar stigma dalam isu kesehatan mental dan bunuh diri.

Ia menyebutkan kalau stigma seputar depresi menciptakan dua permasalahan utama. Pertama, individu yang mengalami depresi cenderung enggan mencari pengobatan yang sebenarnya krusial untuk mencegah resiko bunuh diri.

Kedua, stigma ini memicu interpretasi keliru dan menyalahkan, seperti anggapan kurangnya doa, iman, atau adanya dosa tertentu sebagai penyebab depresi.

"Akibatnya, bukan hanya menghilangkan kasus depresi menjadi sulit, bahkan upaya untuk menguranginya pun terhambat." jelas dokter spesialis kejiwaan ini.

Ia menekankan pentingnya dukungan dan kehadiran bagi individu yang mengalami depresi atau kecemasan, menjadi jembatan penghubung dan pendengar yang baik.

Pada sesi kedua, Dr Edwin Tambunan menjelaskan soal jejak forensik. Dokter spesialis Forensik medikolegal dari RSUD Prof Dr WZ Yohanes Kupang dan RSB Titus Uly Kupang ini menggambarkan pula soal kematian tidak wajar atau unnatural.

Ia minta agar sebisa mungkin saat ada kejadian bunuh diri agar tidak di publish secara luas karena bunuh diri bukan pilihan yang tepat.

"pelaku bunuh diri akan mengalami penderitaan. Bunuh diri bukan pilihan tepat.Jangan pernah terbesit untuk melakukan aksi bunuh diri," tandasnya.

Dr. Edwin Tambunan memaparkan tantangan yang dihadapi dalam penanganan kasus bunuh diri di NTT, terutama terkait aspek geografis dan keterbatasan sumber daya.

"Tidak semua kabupaten memiliki dokter forensik. Dokter forensik hanya berpusat di Kupang saja. Untuk kasus-kasus yang terjadi di kabupaten, agak susah kalau harus menghadirkan dokter forensik dari Kupang," ujarnya.


Selain itu, keterbatasan alat, akses ke daerah terpencil, serta perbedaan bahasa dan budaya juga menjadi kendala dalam proses identifikasi dan pemeriksaan.

Dr. Edwin menjelaskan bahwa forensik fokus pada temuan pemeriksaan pada korban bunuh diri, melengkapi perspektif teologi dan psikiatri.

Pdt John Manongga pada sesi ketiga lebih lugas membidik soal teologi trauma saat membawakan materi "menjembatani luka dan harapan : teologi trauma dalam krisis bunuh diri".

Teologi trauma adalah jembatan agar belajar melalui iman Kristen bisa sampai pada pengharapan itu. "Dalam keadaan trauma masih ada harapan," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa bunuh diri merupakan keadaan yang kompleks, apakah dosa atau tidak. "Bunuh diri kebanyakan karena trauma eksistensial karena hilangnya makna, harapan dan koneksi," ujarnya.

Teologi trauma, tambahnya memahami penderitaan bukan untuk dijustifikasi tetapi untuk dihadapi (respon) bersama.

Untuk itu, jika jiwa cemas dan depresi maka perlu bertemu dengan orang yang tepat. "Jika ada kasus bunuh diri maka stop mencari alasannya tetapi harus hadir bersama mendengarkan apa yang dikatakan dan menjadi jembatan menuju harapan," tandasnya.

Teologi trauma juga mengajak melihat dari titik berbeda yakni kita ikut merasakan. "Trauma adalah luka mendalam fisik, psikis dan spiritual yang menghancurkan kemampuan seseorang untuk hidup secara utuh. Menciptakan ruang kosong dalam jiwa yang sulit diisi oleh kata dan doa. Bunuh diri terjadi karena luka dalam diri tidak tertangani dengan baik dan harapan tampaknya mustahil," urainya.

Ia menegaskan kalau orang bunuh diri karena tidak mengasihi dirinya sendiri dan keluarga. Efeknya, sering ada stigma dari masyarakat dan menjadi 'luka' bagi keluarga.

"Teologi trauma tidak menilai moralitas tapi ada bersama-sama untuk menjadi jembatan menuju harapan," tambahnya.

Dimana Allah dalam trauma manusia?. Hal ini menjadi pertanyaan reflektif bagi semua pihak. Pdt John Manongga menjelaskan kalau Allah hadir dalam (luka) penderitaan bukan menghakimi dari kejauhan.

Pdt. John Manongga, M.Th, dalam pemaparannya yang mendalam, membuka wawasan peserta dengan menyatakan bahwa seringkali, tindakan bunuh diri bukanlah keinginan untuk mati, melainkan luapan dari rasa sakit yang tak tertahankan dan keinginan untuk didengarkan.

"Orang bunuh diri pada dasarnya dia tidak ingin mati, dia ingin didengarkan, dia ingin berhenti dari rasa sakit, tetapi karena dia tidak menyadari dirinya dan tidak tau harus bicara kepada siapa," ungkapnya.

Pdt. John mengutip pandangan Serene Jones mengenai teologi trauma sebagai luka mendalam yang menghancurkan kemampuan seseorang untuk hidup utuh. Luka ini menciptakan kehampaan jiwa yang sulit diisi, bahkan oleh kata-kata atau doa.

Menurutnya, bunuh diri kerap menjadi jalan pintas ketika luka trauma tidak tertangani dan harapan seolah sirna.

Pdt John Manongga menekankan bahwa teologi trauma mengajak untuk melihat permasalahan ini dengan empati, dari sudut pandang yang berbeda.

"Cegah bunuh diri melalui relasi dan komunitas. Bangun relasi dalam komunitas keluarga karena keluarga adalah miniatur gereja. Anggota keluarga akan merasa aman dan tidak merasa sendiri. Gereja bukan sekedar penjaga moral tetapi komunitas pemulihan (ruang pemulihan)," ujarnya.

Teologi trauma tidak berupaya membela atau mencari alasan Tuhan, melainkan menekankan bahwa individu yang mengalami pergumulan ini tidaklah sendiri. Ada komunitas, dukungan, dan kehadiran Tuhan di tengah luka.

Proses pemulihan dapat dijalani melalui konsultasi, berbagi, dan menggali akar permasalahan dengan dukungan keluarga, gereja, dan komunitas, sehingga individu dapat mengingat dan memproses pengalaman traumatis dengan cara yang benar.

Dengan pemahaman yang lebih mendalam dari berbagai perspektif, diharapkan upaya pencegahan dan penanganan bunuh diri dapat menjadi lebih efektif dan membawa harapan bagi banyak jiwa.

Editor
: Arie

Tag:

Berita Terkait

Nusantara

IRT di Amfoang Timur-Kupang Sembunyikan Bayi Yang Baru Dilahirkan Dibawah Bantal di Kursi Hingga Meninggal

Nusantara

Beri Dukungan Moril Bagi Korban TPPO, Polda NTT dan Polresta Kupang Kota Beri Pendampingan Psikologi

Nusantara

Dititip Ortu Karena Kerja di Kalimantan, Siswi SMP di Manggarai Barat Malah Diperkosa Pamannya

Nusantara

Kanwil Ditjenpas NTT Serahkan Rupbasan Dikelola Kejati NTT

Nusantara

Pimpin Upacara Hari Pahlawan, Karo SDM Polda NTT Minta Anggota Polri Jadi teladan Penegakkan Nilai Kepahlawanan

Nusantara

Perekrut Calon Tenaga Kerja Ilegal di Kabupaten Sikka Diamankan Polisi