Tanggal 16 Oktober 2025 menjadi tonggak penting bagi upaya pelestarian hutan di Kabupaten Manggarai. Di hari itu, dilakukan pembahasan hasil Penataan Batas Definitif Kawasan Hutan yang mengalami Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan yang berdampak penting, cakupan yang luas, serta bernilai strategis (DPCLS). Dua lokasi menjadi fokus kegiatan ini, yakni Hutan Lindung Meler Kuwus dan Hutan Lindung Gapung.
DPCLS merupakan singkatan dari "Dampak Penting, Cakupan Luas, dan Bernilai Strategis", yang merujuk pada perubahan peruntukan kawasan hutan yang berpengaruh besar terhadap kondisi biofisik, iklim, ekosistem, tata air, serta memiliki dampak sosial ekonomi yang signifikan bagi kehidupan masyarakat sekarang maupun generasi mendatang. Karena itu, setiap proses perubahan peruntukan dalam kategori DPCLS harus dilakukan dengan kehati-hatian, koordinasi lintas sektor, serta pertimbangan aspek keberlanjutan.
Langkah penataan batas di Manggarai bukan sekadar rutinitas teknis, tetapi bagian dari upaya menghadirkan keadilan ruang antara kepentingan konservasi dan hak-hak masyarakat. Dengan batas yang jelas, pemerintah dapat memastikan kawasan hutan tetap terlindungi, sementara masyarakat memperoleh kepastian hukum atas lahan yang mereka kelola secara turun-temurun.
Dari Sejarah Menuju Kepastian Ruang
Baca Juga: Tunjangan Naik, Ketua DPRD NTT Beri Penjelasan Sejarah tata ruang dan kawasan hutan di
Nusa Tenggara Timur menunjukkan dinamika panjang sejak era TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan) di awal 1980-an. Setelah berbagai penyesuaian hukum melalui UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, hingga UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, arah kebijakan kehutanan Indonesia terus bergerak menuju tata kelola yang lebih sinkron dan adaptif.
Di Provinsi NTT, penyelarasan antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan kawasan hutan dilakukan melalui sejumlah keputusan penting, seperti SK.357/MenLHK/Setjen/PLA.0/5/2016 dan SK.6615/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/10/2021.
Langkah terbarunya, SK Menteri LHK Nomor 165 Tahun 2024, menetapkan perubahan peruntukan kawasan hutan lindung menjadi bukan kawasan hutan seluas ±35 hektare di Kabupaten Manggarai (±32 ha di Meler Kuwus dan ±3 ha di Gapung). Kebijakan ini merupakan bentuk corrective action—upaya korektif dari pemerintah untuk menyelesaikan tumpang tindih kawasan dan memberikan kepastian hak kepada masyarakat yang sudah lama mengelola lahan di sekitar kawasan hutan. Dengan kebijakan ini, pemerintah mengakui realitas sosial di lapangan tanpa mengorbankan fungsi ekologis hutan.
Menegakkan Batas, Menyelaraskan Kepentingan
Penataan batas definitif dilakukan dengan penuh ketelitian dan partisipasi. Di Hutan Lindung Meler Kuwus, tim bekerja di tiga desa: Goloworok, Bangka Lelak (Mbohang), dan Nati (Pering). Kegiatan meliputi pemancangan patok batas, pemasangan tugu, hingga pemetaan berbasis koordinat geografis. Sebagian trayek batas disesuaikan dengan hasil program TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) agar tidak terjadi tumpang tindih antara lahan masyarakat dan kawasan hutan.
Sementara di Hutan Lindung Gapung, proses penataan batas dilakukan secara virtual menggunakan citra dan data spasial. Pendekatan ini ditempuh karena adanya penolakan masyarakat saat pemancangan batas sementara. Namun melalui kesepakatan bersama dan teknologi pemetaan digital, batas hutan tetap dapat disepakati secara sah. Langkah ini sejalan dengan PermenLHK Nomor 7 Tahun 2021 yang membuka ruang penggunaan batas virtual dalam kondisi tertentu, seperti lokasi sulit dijangkau atau rawan konflik.
Baca Juga: Diduga Bunuh Istri 12 Tahun Lalu, Pejabat Pemprov NTT Dijemput Polisi dan Dilimpahkan ke JPU Sinergi untuk Kepastian Ruang
Kegiatan ini merupakan hasil kerja kolaboratif antara Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV Kupang, Balai Pengelolaan Hutan Lestari Wilayah IX, Dinas LHK Provinsi NTT, Pemerintah Kabupaten Manggarai, serta Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai. Sinergi lintas lembaga ini menjadi contoh nyata pelaksanaan prinsip "satu peta, satu data, satu kebijakan" untuk mendukung tata kelola sumber daya alam yang efisien dan akuntabel.
Menatap ke Depan
Penataan batas definitif yang telah dilakukan merupakan langkah konkret menuju kepastian ruang dan keadilan ekologis. Dengan batas yang jelas, perencanaan pembangunan dapat dilakukan tanpa menyalahi fungsi lindung hutan, sementara masyarakat memperoleh perlindungan hukum atas tanah yang telah mereka tinggali lebih dari 20 tahun.
Kawasan hutan bukan sekadar wilayah hijau di peta, melainkan fondasi bagi keberlanjutan hidup. Melalui kebijakan yang berpihak, kolaborasi yang erat, dan penerapan teknologi yang adaptif, kita menata ruang bukan hanya untuk masa kini—tetapi juga untuk masa depan yang lestari dan berkeadilan.
Penulis: Dr. Hengky Wijaya, S.Hut., M.Si, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XIV Kupang.
Baca Juga: Polisi dan TNI di Sulamu-Kupang Gotong Royong Perbaiki Jalan Rusak