digtara.com -Setiap kali berita tentang kejahatan yang dilakukan oleh anak atau remaja muncul, publik selalu bereaksi keras. Masyarakat menuntut hukuman berat, sementara media sering menyorot pelaku seolah-olah mereka sudah kehilangan moral dan akal sehat. Namun di balik kemarahan itu, ada pertanyaan yang sering terabaikan: Apakah menghukum anak sama dengan menegakkan keadilan? Atau justru menghancurkan masa depan yang seharusnya masih bisa diperbaiki?
Dalam
sistem hukum Indonesia, anak yang berkonflik dengan hukum atau sering disebut "anak pelaku" berada di posisi yang sangat rentan. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang masih dalam proses tumbuh, belajar, dan membentuk jati diri. Kesalahan mereka sering kali bukan hasil niat jahat yang matang, tetapi akibat lingkungan, tekanan sosial, atau ketidaktahuan akan konsekuensi hukum.
Karena itu, pemidanaan terhadap anak tidak boleh disamakan dengan pemidanaan terhadap orang dewasa.
Negara kita sebenarnya sudah cukup maju dalam membangun sistem hukum anak.
Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (
UU SPPA), Indonesia menegaskan bahwa proses hukum terhadap anak harus berorientasi pada kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).
Prinsip utama dari UU ini adalah diversi, yaitu pengalihan penyelesaian perkara dari proses peradilan pidana ke proses di luar pengadilan. Diversi bisa dilakukan melalui mediasi, pembinaan sosial, atau perdamaian antara pelaku dan korban, dengan tujuan agar anak tidak perlu masuk penjara.
Pasal 6 UU SPPA menegaskan bahwa diversi bertujuan untuk:
1. Mencapai perdamaian antara korban dan anak;2. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;3. Mendorong tanggung jawab sosial anak;4. Mencegah anak mengulangi tindak pidana.
Dengan demikian, hukum anak sebenarnya mengandung roh kemanusiaan dan pembinaan.
Namun sayangnya, dalam praktik, banyak aparat dan masyarakat yang masih melihat pemidanaan anak sebagai sarana pembalasan, bukan perbaikan.Masih sering kita dengar kasus di mana anak yang mencuri sandal, sepeda, atau ponsel dijebloskan ke penjara bersama orang dewasa. Padahal, pasal demi pasal dalam UU SPPA secara jelas melarang tindakan itu. Bahkan Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi, namun pelaksanaannya masih jauh dari ideal.
Banyak aparat penegak hukum yang masih menganggap diversi sebagai kelemahan hukum, bukan kebijaksanaan. Sementara masyarakat sering mendesak agar pelaku anak dijatuhi hukuman berat atas nama "efek jera." Padahal, efek jera tanpa pemahaman justru melahirkan efek dendam dan efek trauma.Penjara bukan tempat yang aman bagi anak. Lembaga Pemasyarakatan Anak sering kekurangan tenaga pembimbing, sarana pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi. Tidak sedikit anak yang justru mengalami kekerasan, pelecehan, dan penularan perilaku kriminal selama masa tahanan. Alih-alih diperbaiki, mereka justru keluar dengan luka batin dan stigma sosial yang membuat mereka sulit kembali ke masyarakat.
Pemidanaan terhadap pelaku anak harus berpijak pada prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dimana pendekatan hukum yang memulihkan hubungan sosial, bukan sekadar menghukum pelaku.
Pendekatan ini menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat dalam satu proses dialog untuk mencari solusi yang adil dan memulihkan kerugian tanpa mengorbankan masa depan anak.
Keadilan restoratif bukan berarti memaafkan kejahatan, tetapi membangun tanggung jawab. Anak yang melakukan kesalahan tetap harus mengakui perbuatannya dan memperbaiki akibat yang ditimbulkan, misalnya melalui permintaan maaf, ganti rugi, atau kegiatan sosial. Namun ia tidak perlu kehilangan kebebasan dan masa depan karena kesalahan yang sebenarnya bisa diperbaiki.
Pendekatan seperti ini bukan hanya lebih manusiawi, tetapi juga lebih efektif menekan angka residivisme (pengulangan kejahatan). Anak yang disembuhkan akan belajar dari kesalahannya, sementara anak yang dihukum tanpa pemahaman akan tumbuh dengan kebencian terhadap hukum.
Dalam sistem peradilan anak, keluarga memegang peranan utama. Anak tidak boleh dibiarkan sendirian menghadapi proses hukum. Keluarga, pekerja sosial, dan pembimbing kemasyarakatan harus aktif memberikan pendampingan psikologis dan moral agar anak tidak merasa terbuang. Negara pun wajib hadir bukan hanya melalui aparat penegak hukum, tetapi juga melalui kebijakan sosial dan pendidikan. Banyak kasus kriminalitas anak yang sebenarnya berakar dari kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Selama faktor-faktor struktural ini tidak diselesaikan, penjara hanya akan menjadi solusi instan yang menutup luka di permukaan.
Pemerintah harus memperluas program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi anak pelaku, memastikan mereka kembali ke sekolah, dan membuka ruang kerja atau pelatihan pasca pembinaan.
Keadilan sejati bukan ketika anak dihukum, tetapi ketika anak tidak lagi mengulangi kesalahannya.
Pemidanaan anak adalah ujian bagi moralitas hukum kita. Apakah hukum masih berpihak pada kemanusiaan, atau sudah terjebak dalam logika pembalasan? Bangsa yang menghukum anak dengan cara yang sama seperti menghukum orang dewasa adalah bangsa yang gagal membedakan antara kesalahan dan ketidaktahuan. Hukum yang beradab bukanlah hukum yang keras, tetapi hukum yang bijak dan memulihkan. Keadilan tidak akan tercapai dengan menghancurkan masa depan anak, melainkan dengan mengembalikannya ke jalan yang benar.
Pemidanaan terhadap pelaku kriminal remaja dan anak tidak boleh hanya dilihat sebagai upaya menegakkan ketertiban, tetapi juga membangun masa depan bangsa. Anak-anak ini bukan ancaman, mereka adalah warga negara muda yang sedang tersesat dan membutuhkan bimbingan.
Negara, aparat hukum, dan masyarakat harus bergandengan tangan memastikan bahwa sistem hukum anak tidak menjadi jebakan yang merampas harapan. Sebab setiap anak yang diselamatkan dari keputusasaan adalah kemenangan kecil bagi keadilan itu sendiri.
Seperti yang diingatkan oleh Mahatma Gandhi:
"Keadilan sejati tidak ditemukan dalam penghukuman, tetapi dalam pemulihan kemanusiaan."
____
Penulis: Oleh: Esti Aryani, S.H, M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi