digtara.com - Bencana banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, sejak akhir November 2025 telah menewaskan 442 orang dengan 402 orang masih hilang. Angka-angka ini bukan sekadar statistik korban, melainkan cerminan dari kompleksitas hubungan antara pemerintah, masyarakat, dan alam yang dimediasi melalui komunikasi politik dan relasi kuasa dalam tata kelola bencana (disaster governance).Bencana, dalam perspektif sosiologi dan ilmu politik kontemporer, bukanlah semata peristiwa alam. Sebagaimana diungkapkan dalam kajian terkini tentang tata kelola bencana, tragedi kemanusiaan ini merupakan fenomena sosial yang dibentuk oleh ketimpangan struktural, kegagalan governance, dan dinamika kekuasaan yang tidak seimbang (Tierney, 2019; Lassa et al., 2022). Artikel ini menganalisis bagaimana komunikasi politik dan relasi kuasa beroperasi dalam penanganan bencana banjir Sumatera, dengan menyoroti dimensi-dimensi kritis yang sering terabaikan dalam diskursus penanggulangan bencana.
Komunikasi Politik dalam Situasi Krisis: Antara Narasi dan Realitas
Komunikasi politik dalam konteks bencana memainkan peran yang sangat krusial, tidak hanya dalam penyampaian informasi tetapi juga dalam konstruksi narasi publik, legitimasi kekuasaan, dan distribusi sumber daya. Komunikasi politik pemerintah Indonesia dalam penanganan bencana seringkali menunjukkan kelemahan yang diperparah oleh pernyataan-pernyataan yang tidak tepat dan berdampak pada persepsi publik.
Dalam kasus banjir Sumatera 2025, komunikasi politik pemerintah menunjukkan pola yang kompleks. Presiden Prabowo Subianto menyampaikan duka cita mendalam dan menekankan pentingnya menjaga lingkungan, mencegah pembabatan pohon dan kerusakan hutan. Pernyataan ini mengandung dimensi politik yang signifikan: pengalihan fokus dari tanggung jawab struktural pemerintah terhadap tata kelola lingkungan dan pembangunan ke narasi moralitas kolektif tentang pelestarian alam.
Baca Juga: 2.269 Ton Beras Disalurkan untuk Korban Banjir dan Longsor di Sumatera Utara Penelitian Alnizar dkk. (2022) tentang bahasa politik bencana menunjukkan bahwa komunikasi pemerintah dalam situasi krisis sering menggunakan modalitas linguistik yang meminimalkan tanggung jawab struktural sambil memaksimalkan citra responsif. Pola ini terlihat jelas dalam komunikasi pemerintah terkait banjir Sumatera, di mana retorika "menjaga lingkungan" digunakan tanpa disertai analisis kritis tentang izin konsesi hutan, pembangunan infrastruktur yang tidak berkelanjutan, dan lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Relasi Kuasa dalam Tata Kelola Bencana: Fragmentasi dan Sentralisasi
Konsep disaster governance mengacu pada pengaturan institusional, mekanisme koordinasi, dan relasi kekuasaan yang membentuk cara masyarakat mempersiapkan, merespons, dan memulihkan diri dari bencana. Menurut Tierney (2012), tata kelola bencana bersifat polisentris dan multi-skala, namun cenderung kurang terintegrasi dan sering dirumuskan sebagai respons reaktif terhadap peristiwa bencana besar tertentu.
Desakan dari DPR kepada pemerintah untuk menetapkan status bencana nasional menunjukkan bahwa bencana yang meliputi tiga provinsi telah memenuhi indikator penetapan status bencana nasional berdasarkan cakupan wilayah, jumlah korban, kerusakan sarana prasarana, kerugian harta benda, dan dampak sosial ekonomi. Dinamika ini mengungkapkan relasi kuasa antara pemerintah pusat dan daerah dalam konteks desentralisasi penanganan bencana.
Penelitian terkini menunjukkan bahwa transformasi sistem manajemen bencana Indonesia dari model sentralistik-reaktif ke model terdesentralisasi-partisipatif masih menghadapi tantangan serius terkait fragmentasi institusional. Ketiadaan kepemimpinan yang akuntabel menjadi hambatan kunci bagi proses pembangunan kemitraan yang sukses untuk mendukung kolaborasi politik dan teknis (Linking DRR and CCA, 2023).
Dalam kasus banjir Sumatera, fragmentasi ini terlihat nyata. Beberapa pemerintah kabupaten dilaporkan lumpuh dan tidak berdaya melakukan tanggap darurat bencana, dengan banyak wilayah yang terisolir dan belum bisa mendapat akses bantuan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa meskipun desentralisasi dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas lokal, relasi kuasa yang tidak seimbang antara pusat dan daerah—dalam hal sumber daya, kapasitas teknis, dan otoritas pengambilan keputusan—tetap menjadi kendala struktural.
Komunikasi Bencana: Antara Efektivitas dan Politik Pencitraan
Komunikasi efektif dalam penanganan bencana sangat esensial dan harus menggunakan strategi yang tepat, namun pada masa tanggap darurat sering tidak berjalan sebagaimana mestinya karena belum dimilikinya strategi komunikasi yang baik secara tertulis dan berbasis web serta internet.
Baca Juga: Starlink Bagikan Internet Gratis untuk Korban Banjir di Sumatra, Ini Cara Daftarnya Komunikasi bencana bukan semata urusan teknis penyampaian informasi, melainkan juga arena kontestasi politik dan kuasa. Sutopo Purwo Nugroho dan Dyah Sulistyorini (2019) dalam bukunya "Komunikasi Bencana: Membedah Relasi BNPB dengan Media" menekankan bahwa komunikasi bencana yang efektif memerlukan pemahaman tentang karakteristik media massa, tanggung jawab media, dan bagaimana institusi mengelola relasi dengan berbagai pemangku kepentingan.
Dalam konteks banjir Sumatera, komunikasi pemerintah menunjukkan paradoks: di satu sisi, terdapat upaya mobilisasi sumber daya dan bantuan yang masif; di sisi lain, narasi yang dibangun cenderung menghindari pertanyaan kritis tentang pencegahan dan mitigasi jangka panjang. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah terus berkoordinasi terkait penanganan bencana dengan Presiden Prabowo menghubungi para gubernur tiga provinsi terkait kebutuhan bantuan bencana, namun komunikasi tentang akuntabilitas atas kegagalan sistem peringatan dini dan tata ruang yang buruk masih minim.
Kontestasi Narasi: Lingkungan, Pembangunan, dan Tanggung Jawab Politik
Salah satu dimensi paling krusial dari komunikasi politik bencana adalah kontestasi narasi tentang penyebab bencana. Dugaan bahwa bencana saat ini diperparah dampaknya karena kerusakan hutan akibat aktivitas korporasi memerlukan penyelidikan serius dari pemerintah. Narasi ini mengungkap relasi kuasa antara kepentingan ekonomi-politik dan keberlanjutan ekologis.
Pakar ITB mengidentifikasi bahwa bencana banjir bandang Sumatera disebabkan oleh interaksi antara faktor atmosfer, kondisi geospasial, dan kapasitas tampung wilayah. Namun, penjelasan teknis-saintifik ini sering mengaburkan dimensi politik-ekonomi yang lebih fundamental: bagaimana kebijakan tata ruang, izin konsesi, dan pembangunan infrastruktur berkontribusi terhadap kerentanan.
Dalam perspektif ekologi politik, bencana adalah produk dari relasi kuasa yang tidak adil dalam pengelolaan sumber daya alam. Foucault (1977) mengingatkan bahwa kekuasaan beroperasi melalui produksi pengetahuan dan wacana. Dalam konteks bencana, narasi dominan yang menekankan faktor alam dan cuaca ekstrem dapat berfungsi untuk mengaburkan tanggung jawab politik atas kegagalan tata kelola lingkungan dan pembangunan.
Partisipasi Masyarakat dan Demokratisasi Tata Kelola Bencana
Baca Juga: Update Korban Bencana Sumbar: 166 Meninggal Dunia, 111 Orang Masih Hilang per 1 Desember 2025
Salah satu prinsip fundamental dalam tata kelola bencana kontemporer adalah partisipasi masyarakat sebagai ko-produser ketahanan (resilience), bukan sekadar penerima bantuan pasif. Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM) menekankan pentingnya pengetahuan lokal, modal sosial, dan tata kelola partisipatif (Ma'arif, 2015).
Namun, partisipasi masyarakat dalam tata kelola bencana tidak terlepas dari relasi kuasa. Kesadaran situasional terhadap bencana di era digital dibentuk dari jaringan pengenal krisis yang tidak hanya bersifat top-down dari pemerintah ke masyarakat, tetapi juga bottom-up dan horizontal antar elemen masyarakat. Penelitian tentang sistem komunikasi krisis berbasis media sosial menunjukkan bahwa transformasi ini memerlukan kolaborasi pengelolaan media sosial antar lembaga dan partisipasi aktif masyarakat.
Dalam kasus banjir Sumatera, partisipasi masyarakat masih terbatas pada fase respons darurat, sementara keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan tentang mitigasi, perencanaan tata ruang, dan kebijakan pembangunan masih sangat minimal. Ini mengungkapkan bahwa democratization of disaster governance masih jauh dari ideal, dengan relasi kuasa yang tetap menempatkan masyarakat sebagai objek kebijakan, bukan subjek yang aktif.
Bencana banjir Sumatera 2025 bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga cermin dari kompleksitas komunikasi politik dan relasi kuasa dalam tata kelola bencana Indonesia. Beberapa refleksi kritis perlu digarisbawahi:
Pertama, komunikasi politik dalam penanganan bencana harus melampaui retorika responsivitas menuju transparansi dan akuntabilitas struktural. Narasi tentang "menjaga lingkungan" perlu diterjemahkan ke dalam kebijakan konkret yang membatasi eksploitasi sumber daya alam, memperkuat penegakan hukum lingkungan, dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan.
Kedua, desentralisasi tata kelola bencana memerlukan penguatan kapasitas pemerintah daerah yang disertai dengan mekanisme akuntabilitas dan koordinasi yang jelas. Relasi kuasa antara pusat dan daerah harus direkonfigurasi dari pola hierarkis-birokratis menjadi kolaboratif-partisipatif.
Ketiga, komunikasi bencana harus berbasis pada strategi yang terencana, memanfaatkan teknologi digital, dan memastikan akses informasi yang setara bagi semua kelompok masyarakat, terutama kelompok rentan.
Keempat, kontestasi narasi tentang penyebab bencana memerlukan ruang publik yang demokratis di mana berbagai perspektif, termasuk suara masyarakat terdampak, akademisi, aktivis lingkungan, dan jurnalis investigatif, dapat didengar dan didiskusikan secara setara.
Baca Juga: Maxim Salurkan Ratusan Paket Makanan untuk Warga Terdampak Banjir di Sumatera Utara Kelima, partisipasi masyarakat dalam tata kelola bencana harus diperkuat tidak hanya dalam fase respons, tetapi terutama dalam fase mitigasi, perencanaan, dan pengambilan keputusan tentang pembangunan dan tata ruang.
Tragedi banjir Sumatera mengingatkan kita bahwa bencana adalah produk sosial-politik yang memerlukan transformasi fundamental dalam cara kita memahami dan mengelola relasi antara masyarakat, negara, dan alam. Tanpa transformasi ini, bencana akan terus berulang, dan korban akan selalu datang dari kelompok yang paling rentan dan tidak memiliki kuasa. (***)
Tulisan ditulis oleh: Syahnanto Noerdin
Praktisi Media dan Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga & Kerjasama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI Pusat).